Catatan si MISKIN Made in Indonesia
(Mencari sepotong keadilan)
(Mencari sepotong keadilan)
^Roe Salampessy^
Selamat malam Indonesia........
Aku adalah anak Indonesia yang lahir dari rahim Ibu pertiwi namun hidup miskin dipelukannya. Seseorang yang berkelana mencari sepotong keadilan dinegeri ini dan berusaha menyapa saudara-saudaranya yang hidup dihimpit kesusahan serta diskriminasi sosial. Aku berjalan menyusuri jalanan di kota-kota besar negeri ini hingga kepelosok desa-desa yang belum terjamah modernisme. Aku Melewati gedung-gedung pencakar langit dan istana-istana mewah para penguasa, dan memanjat tebing tinggi diperbukitan yang curam dipedalaman sumatera, sampai jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua.
Dari Aceh aku mulai perjalanan ini, ku susuri hutan-hutan rimba dan pesisir pantai Aceh. Aku melihat dan mendengar suasana Duka Tsunami masih meninggalkan luka yang menganga bagi sebagaian besar masyarakat Aceh. Ternyata, masih banyak saudara-saudaraku ditanah rencong ini yang dihimpit kesusahan hidup. Aku hanya diam menatap lepas Diskriminasi yang menjadi sisi lain kehidupan masyarakatnya.
Aku lanjutkan pengembaraan ini ke daratan Riau. Disana aku terkaget-kaget ketika melewati jalanan di kota ini. mengapa? karena aku harus memakai masker penutup hidung, agar tak keracunan asap yang diakibatkan kebakaran hutan. Tampaknya Kebakaran Hutan di wilayah ini telah menjadi kebiasaan yang cukup panjang.
Perjalanan kulanjutkan dengan menumpangi truk-truk besar yang menuju Pulau Jawa, Jalan Trans Sumatera yang berlubang-lubang membuat mobil berguncang kiri kanan. Tampak olehku kecelakaan yang menewaskan beberapa orang akibat kerusakan jalan tersebut. Kelihatannya PEMDA setempat tak peduli dengan jalanan yang rusak ini. Aku hanya membisu, mendengar cibiran masyarakat kepada Para Kontraktor yang mendapat proyek perbaikan jalan ini.
Ditanah Jawa, aku disambut saudara-saudaraku yang hidup di pinggiran kota Jakarta, yang terlelap tidur diemperan-emperan toko, yang meminta-minta di perempatan lampu merah, dan yang mengais-ngais reseki dari sampah-sampah kota. Saudara-saudaraku yang tersenyum sedih menatap panjangnya kehidupan ini.
Malam yang dingin menyelimuti Jakarta dari seluruh penjuru, dikolong TOL disebuah Gubuk gardus aku rebahkan diri tertidur menggigil kedinginan. Dibalik rumah mungil ini, kuintip keluar dari celah-celah dindingnya, melihat gedung-gedung pencakar langit dan rumah-rumah mewah yang berjejer. Aku juga mendengar suara-suara bising diatas jalan TOL, bunyi kendaraan yang dipacu melaju dan suara tawa dibalik mobil mewah yang melintas. Kututup telinga ini dengan tangan yang gemetaran, inilah kehidupan seorang anak ibu pertiwi yang mencoba terlelap tidur dibuaiannya.
Pagi yang cerah aku terbangun oleh Panggilan indah dari sang penguasa Semesta, suara Azan subuh memecah keheningan pagi, Kuhadapkan wajah ini sesaat kehadapan Tuhan yang telah memberikan nikmatNYA bagi seluruh hamba-hambaNYA. Kutinggalkan Jakarta pagi itu dengan Hati yang tersayat-sayat dan batin yang merintih, karena masih banyak saudara-saudaraku yang termarginalkan dan ternafikan hak-haknya. Akhirnya kulanjutkan pengembaraan ini kepesisir utara Pulau Jawa, aku sempatkan diri menikmati NASI AKING yang menjadi makanan alternatife masyarakat setempat akibat mahalnya harga bahan pokok (beras), menyantap nasi aking ini sungguh membuat perutku mules dan sakit, makanan yang sengaja dibuat untuk ternak bebek ini akhirnya menjadi santapan hari-hari ratusan nelayan diwilayah tersebut.
Kakiku terus melangkah kearah selatan, kulihat ratusan rumah tenggelam oleh amukan Bengawan Solo, ribuan jiwa mengungsi di tempat penampungan ala kadarnya. Kudengar isak tangis seorang saudaraku yang bersedih karena tak ada bantuan yang datang. Sementara Dilain tempat sekitaran wilayah tersebut, kulihat antrian panjang saudara-saudaraku yang menenteng cergen minyak tanah, wajah-wajah tegar yang senantiasa tabah dan sabar menghadapi goncangan ekonomi yang tengah melanda negeri ini.
Dari bengawan Solo kulanjutkan langkah ini menuju kota Pahlawan Surabaya, sungguh terkejut hatiku.! terpana membisu melihat lumpur LAPINDO yang menyembur menutupi kawasan pemukiman rakyat di Sidoarjo. Ratusan rumah hanya terlihat atapnya, pemandangan yang sungguh ironis buatku. Ribuan Pengungsi yang terancam hidupnya terlihat memelas menyerahkan semuanya kepada penguasa negeri ini.
Kusapa para pengungsi disekitar lokasi lumpur Lapindo itu sebelum kulanjutkan perjalanan ke pulau Bali, di Pulau Dewata ini kutelan ludah dan menahan nafas melihat bule-bule berkeliaran dijalanan kota dan pesisiran pantai tanpa busana yang sopan, Bercengkrama dengan Narkoba dan minuman keras. Suasana hedonisme yang disuguhkan Bali benar-benar vulgar. Kata orang, Bali Surganya Dunia..??????? bukan tempatnya orang miskin
Angin laut membawaku menyebrangi laut Jawa menuju Kalimantan, pulau indah yang dulu bernama Borneo ini penuh dengan potongan-potongan kayu illegal yang siap diekspor ke luar negeri. Aku hanya diam membisu melihat wilayah yang mulai tandus akibat penebangan liar ini. Perjalananku sempat terhenti mengecek para TKI yang sedang di EKSPOR Negara bak barang dagangan ke negeri Jiran Malaysia.
Dari Kalimantan kulanjutkan perjalanan ke Sulawesi, ditempat ini aku bersitirahat melepas lelah yang mulai menyerang tubuhku yang kurus kering. Karena lapar dan Perutku mulai kosong kerontang sehingga memaksaku mengikuti Demonstrasi penolakan Hasil PILKADA di Makassar demi sesuap nasi dan sedikit uang saku untuk melanjutkan perjalananku. Perusakan fasilitas publik dan tindakan anarkisme akhirnya tak dapat kuhindari karena sogokan money politik yang membiusku.!
Kutinggalkan Sulawesi dengan seribu Tanya tentang makna demokrasi yang diajarkan elit-elit politik kita. kusebrangi Laut Banda dengan perahu kayu menuju tanah Papua, Bukan main hati ini terkejut, melihat perahu berbendera asing yang merampok hasil kekayaan laut negeri ini dengan bebasnya. puluhan Ton ikan-ikan didasar laut banda diangkut kekapal dan dibawa kabur ke Negara mereka, Aku hanya terdiam melihat bodohnya bangsa ini menjaga perairannya. Padahal Jutaan dolar telah dikeluarkan untuk membiayai pembeliaan kapal-kapal perang TNI AL.
Akhirnya, langkah ini terhenti diTanah Papua, Negeri yang subur akan kekayaan alam ini begitu indah. Puncak gunung jayawijaya menjulang tinggi menusuk langit, menebarkan aroma emas dan tembaga hingga mancanegara. Hati ini kembali tak sanggup berkata, diam membisu melihat anak-anak pribumi yang diusir petugas-petugas Preeport. Jutaan kg Emas diangkut kapal-kapal asing untuk dibawa kabur ke luar negeri. Pemandangan yang menyayat hati, melihat saudara-saudaraku disana yang tersisihkan oleh kepentingan penguasa.
Diujung kota merauke, aku terbaring lesu dengan keringat yang menetes membasahi sekujur tubuhku yang kerempeng. Sambil menikmati alam papua yang begitu indah, aku teringat pengembaraanku yang panjang menyapa seluruh saudara-saudaraku ditanah ibu pertiwi ini, Saudara-saudaraku yang hidup dihimpit kesulitan dan beban duka.
Untuk penguasa, Jangan meLihat Indonesia hanya dengan sebelah mata...
Kemiskinan bukan barang dagangan.!!!!!
Kutinggalkan Sulawesi dengan seribu Tanya tentang makna demokrasi yang diajarkan elit-elit politik kita. kusebrangi Laut Banda dengan perahu kayu menuju tanah Papua, Bukan main hati ini terkejut, melihat perahu berbendera asing yang merampok hasil kekayaan laut negeri ini dengan bebasnya. puluhan Ton ikan-ikan didasar laut banda diangkut kekapal dan dibawa kabur ke Negara mereka, Aku hanya terdiam melihat bodohnya bangsa ini menjaga perairannya. Padahal Jutaan dolar telah dikeluarkan untuk membiayai pembeliaan kapal-kapal perang TNI AL.
Akhirnya, langkah ini terhenti diTanah Papua, Negeri yang subur akan kekayaan alam ini begitu indah. Puncak gunung jayawijaya menjulang tinggi menusuk langit, menebarkan aroma emas dan tembaga hingga mancanegara. Hati ini kembali tak sanggup berkata, diam membisu melihat anak-anak pribumi yang diusir petugas-petugas Preeport. Jutaan kg Emas diangkut kapal-kapal asing untuk dibawa kabur ke luar negeri. Pemandangan yang menyayat hati, melihat saudara-saudaraku disana yang tersisihkan oleh kepentingan penguasa.
Diujung kota merauke, aku terbaring lesu dengan keringat yang menetes membasahi sekujur tubuhku yang kerempeng. Sambil menikmati alam papua yang begitu indah, aku teringat pengembaraanku yang panjang menyapa seluruh saudara-saudaraku ditanah ibu pertiwi ini, Saudara-saudaraku yang hidup dihimpit kesulitan dan beban duka.
Untuk penguasa, Jangan meLihat Indonesia hanya dengan sebelah mata...
Kemiskinan bukan barang dagangan.!!!!!
*hanya perjalanan imajinerku*