-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Semua Tulisan yang kurang bagus ini hanyalah sebuah proses belajar untuk memahami realita diriku dan dunia luar. Selamat menyelam dalamnya lautan ideku dari sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang yang bisa saja objektif dan bisa pula subjektif. Kebenaran hanyalah Milik Allah Subhana Wa Ta'ala semata. Semoga tulisan-tulisan dalam blog ini Bermanfaat bagi kita semua. aamiin
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

REHAT

27 Mei, 2008

Coblos 5 detik Sengsara 5 tahun
^Roe salampessy^


Akhirnya BBM naik juga, tak peduli kritikan sana sini ataupun aksi penolakan seantero Nusantara. Pemerintah tetap teguh dengan keputusannya yang terbilang cukup Kontroversial. Rakyat dibuat tak berdaya, seakan mati akal dengan kebijakan yang terkesan kurang populis ini. Apalagi Kebijakan ini terlihat dilindungi dengan kekuatan represif kepolisian yang menghadang aksi masa penolakan kenaikan BBM oleh Masyarakat. Beginilah harga sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang terkesan arogan.

Saya jadi ingat tahun 2004 lalu ketika Kampanye Pemilu Presiden (PILPRES) di laksanakan di negeri ini. Seorang mantan Jenderal naik ke atas panggung lantas berorasi dihadapan ribuan massa. Wajah yang kharismatik, penuh wibawa, dan senyum yang memukau, berteriak lantang sambil tangan mengepal tinju “BERSAMA KITA BISA”.

Orasi yang menggugah Nurani menusuk kalbu dengan kata-kata mengumbar Janji penuh optimisme. Sang Jenderal berhasil membius rakyat dengan kata-kata perubahan, Rakyat dibuat berimaji dalam ruang-ruang demokrasi yang tak lagi tersekat oleh dinding-dinding ORBA yang Militeristik. Dengan mantap Sang Jenderal menjajikan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Alhasil, Bilik-bilik penyoblosan dipenuhi imajinasi rakyat kecil. Memberi suara dengan tusukan paku tepat diatas Gambar sang Jenderal, hanya 5 detik saat pilihan itu harus berakhir diatas sebuah kertas bergambar Calon-calon Presiden. Yah, hanya 5 detik lah suara rakyat terkumpul dan memuluskan langkah sang Jenderal menduduki kursi panas RI-1 selama 5 tahun.

Apa yang terjadi kemudian, anda lah yang menilainya.? Imajinasi rakyat tetap sebuah utopia yang hanya menjadi cendera mata dari sebuah kertas suara PEMILU. Coblos 5 detik, namun sengsara 5 tahun. Wassalam (ROE)

Opini

25 Mei, 2008

Kemiskinan, 10 tahuh Reformasi & Kebangkitan Nasional
oleh : Roe salampessy

Kemiskinan, kemiskinan, dan kemiskinan
. Yah, satu kata yang sengaja saya ulang sampai tiga kali ini merupakan salah satu produk ketidakadilan yang telah akut di negeri ini. Dia terus ada karena sengaja dilestarikan oleh sistem yang timpang. Menjamur dari waktu ke waktu dan menjadi sumber problematika bangsa ini.


Kemiskinan merupakan representatif dari kehidupan sosial yang diskriminatif dan dehumanistik. Dia lahir dari sebuah bangsa yang pemimpinnya korup dan arogan yang kerap kali bersembunyi di balik jubah peraturan perundang-undangan dan kekuatan militer (Tentara dan Polisi).

10 tahun sudah Reformasi di negeri ini berjalan. Dalam rentang waktu satu dekade itu saja kemiskinan merupakan salah satu hot issue yang terus bergaung selain penanganan KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) dan isu kepemimpinan nasional. Kemiskinan selalu diwacanakan oleh siapa saja baik politikus, birokrat, akademisi, dan rakyat biasa.

Namun, ada satu hal yang patut disayangkan ketika wacana kemiskinan memasuki ranah politik. Kemiskinan akan berubah menjadi komoditi yang kapan saja dimanfaatkan politikus untuk meraih simpati. Kemiskinan seolah menjadi senjata pamungkas penakluk nurani rakyat. Dia merupakan alat politik utama yang tersistematis dalam wacana perebutan kekuasaan.

Apa yang terlihat selama kurun waktu 1998 hingga 2008 ini dapat dikatakan adalah sebuah sandiwara politik yang sukses mempertontonkan kepintaran aktor-aktor politikus mengelabui rakyat kecil. Hal inilah yang kemudian mereduksi makna Reformasi yang telah berusia 10 tahun ini menjadi salah arah tanpa tujuan yang pasti. Yah, Reformasi telah menjadi Deformasi.

Sedih rasanya melihat negeri ini selama satu dekade Reformasi. Berapa ribu bahkan berapa ratus ribu rakyat Indonesia yang meringkuk dengan perut kosong di atas balai-balai setiap hari saat melepas lelahnya. Tak terjelaskan dengan tepat. Kaum miskin di negeri ini sungguh terlalu banyak. Walaupun BPS dengan angka statistiknya mencatatkan kurang lebih 16% masyarakat Indonesia adalah golongan miskin, namun siapakah yang berani menjamin angka itu adalah fakta sesungguhnya di lapangan.

Kemiskinan memang masalah fundamental yang terus mendapat sorotan dari berbagai pihak. Tanggal 1 Mei 2008 kemarin hampir seluruh masyarakat dunia sama-sama merayakan Hari Buruh Internasional (Mey Day). Perayaan yang lebih identik dengan perjuangan kaum miskin untuk memperoleh hak-haknya ini merupakan momentum penuh arti dari kaum yang tertindas.

Kaum buruh yang memang identik dengan kemiskinan adalah satu dari sekian banyak rakyat kecil yang menghuni negeri ini. Entah berapa data yang pasti tentang jumlah mereka. Namun, di era industrialisasi sekarang ini jumlah mereka tentunya bukan sedikit mengingat jumlah industri besar ataupun kecil di negeri ini teramat banyak.

Bicara kaum buruh berarti kita pun sedang berbicara eksistensi kaum kapitalis yang menurut pandangan Karl Marx kaum buruh merupakan mesin pencetak uang bagi kekayaan kaum kapitalis. Dalam bahasanya yang sangat fenomenal "met de zijin kapitaal geaccumulerde meenvaarde".

Maknanya kurang lebih adalah kekayaan kaum kapitalis diperoleh karena jerih payah dan keringat kaum buruh. Tenaga kaum buruh diperas sedemikian rupa sehingga hak-hak mereka sebagai manusia merdeka hilang sama sekali dengan dalih loyalitas dan kredebilitas.

Kaum kapitalis hidup dari pemerasan dan kaum buruh dari upah kerjanya. Sederhananya adalah kaum buruh terpaksa menerima upah kerja yang rendah sesuai dengan peraturan sepihak yang dibuat kaum kapitalis bekerja sama dengan penguasa dalam hal ini kementrian tenaga kerja.

Lantas siapakah kaum kapitalis. Menurut Marx kaum kapitalis adalah mereka yang memiliki modal keuangan, tanah, transportasi, bank, industri, dan sebagainya. Mereka adalah segolongan kaum borjuasi yang jumlahnya sedikit namun memiliki kekuasaan yang besar. Kaum kapitalis biasanya bersembunyi dibalik penguasa yang korup dan arogan.

Kaum buruh dengan upah kerja yang sangat rendah seperti sekarang ini apalagi di tengah melambungnya harga bahan-bahan pokok, BBM (Bahan Bakar Minyak), dan kebutuhan lainnya, mampukah mereka bertahan hidup? Inilah pertanyaan yang perlu dijawab. Upah kerja kaum buruh biasanya berkisar antara 100 – 700 ribu rupiah per bulan tergantung jenis pekerjaannya.

Namun, yang jadi permasalahan di sini apakah dengan upah serendah itu seseorang dengan anak istrinya dapat bertahan hidup selama sebulan. Jika ada yang mengatakan iya maka orang itu adalah seekor keledai atau seorang pengkhianat bangsa yang tak pantas disebut manusia.

Gambaran tadi barulah seputar upah kerja kaum buruh. Namun, bagaimanakah dengan sebuah keluarga miskin yang bukan kaum buruh yang memiliki penghasilan di bawah 100 ribu rupiah per bulan. Mampukah mereka bertahan hidup dengan kondisi seperti itu?

Saya hanya bisa menjawabnya dengan setetes air mata.

Melawan kemiskinan di negeri ini bukan saja baru diperjuangkan di zaman sekarang. Kira-kira seabad yang lalu bangsa ini telah melakukannya lewat organisasi Boedi Oetomo (BO). Walaupun mungkin perjuangan organisasi ini masih bersifat etnik (Jawa dan Madura). Namun, setidaknya dia telah menjadi pemicu munculnya organisasi-organisasi sesudahnya yang mungkin lebih nasionalis untuk lebih peduli kepada Rakyat Indonesia. Terutama perjuangan untuk melepas diri dari kungkungan Imperialisme Belanda yang telah membuat masyarakat Indonesia pada waktu itu hidup di bawah garis kemiskinan dan menjadi budak di negeri sendiri.

Sebuah penghargaan tentunya kepada BO sehingga hari lahirnya ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dalam hal ini saya tidak peduli dengan kontroversi menyangkut ketetapan pemerintah yang memilih hari lahir BO sebagai hari kebangkitan nasional. Biarlah sejarah yang akan membuktikannya sendiri. Saya lebih cenderung melihat perjuangan melawan kemiskinan yang juga telah berusia seabad seiring hari lahirnya BO.

Tepatnya tanggal 20 Mei tahun 2008 inilah bangsa kita merayakan hari kebangkitan nasional yang ke-100. Namun, sebelum tahun ini bangsa kita telah merayakan 99 kali momentum bersejarah itu, dan selama itu pula perjuangan melawan kemiskinan tak pernah berhenti.

Bila dulu rakyat kita berjuang melepas diri dari kungkungan Imperialisme Belanda yang sangat kapitalis, namun lain halnya dengan kondisi sekarang. Rakyat kita tengah berjuang melawan pengkhianat-pengkhianat bangsa yang tega memiskinkan rakyatnya sendiri. Musuh yang sangat abstrak dan sulit terdeteksi karena banyak yang memakai topeng nasionalisme namun berwajah penjajah.

Lantas apa makna kebangkitan nasional yang telah berusia seabad ini dalam hal melawan kemiskinan. Kebangkitan Nasional sebenarnya merupakan cerminan dari bangkitnya kaum tertindas melawan kaum menindas (kaum kapitalis dan penguasa korup). Kebangkitan Nasional adalah sebuah refleksi kesadaran akan rasa kebangsaan dan kecintaan kepada negara ini, kebangsaan dan kecintaan yang tak terdistorsi oleh nafsu penjajah, barangkali inilah yang kurang dimaknai oleh sebagian besar anak bangsa.

Kebangkitan Nasional hanya dimaknai dengan rasa Nasionalisme yang Fasif dan absurd. Seakan-seakan bangsa kita sedang jatuh dan harus bangkit untuk bersaing dengan negara lain dalam segala aspek. Namun, yang dilupakan adalah ternyata di negeri ini sendiri bercokol penghianat-penghianat bangsa yang dengan leluasa menjual aset-aset negerinya sendiri kepada pihak asing.

Inilah musuh dari dalam yang saya katakan sangat abstrak. Mereka-mereka inilah yang sebenarnya menghambat Kebangkitan Nasional selama hampir seabad. Bagaimana negeri ini mau bangkit bila dalam tubuhnya terdapat virus mematikan yang telah lama membuat lumpuh negeri ini dengan pengkhianatannya.

Lantas siapakah mereka ini. Bisa saja mereka adalah para birokrat, politikus busuk, konglomerat hitam, pengusaha kotor, penegak keadilan yang tak bermoral, pejabat negara yang korup, rakyat pengkhianat yang dibayar oleh uang-uang kapitalis, atau pun siapa saja yang tega memiskinkan Negara ini.

Oleh karena itu, dengan semangat Kebangkitan Nasional sudah Saatnya kaum tertindas bangkit menyelamatkan negeri ini dari para pengkhianat-pengkhianat bangsa. Tampaknya kaum tertindas harus banyak belajar dari pergerakan organisasi pra kemerdekaan yang dengan semangat Nasionalisme tinggi mampu membawa bangsa ini menuju gerbang kemerdekaan dengan persatuan dan kesatuan yang tak mengenal batas wilayah, agama, suku, atau pun budaya.

Akhirnya, marilah kita merenungi perjalanan bangsa ini dari waktu ke waktu saat berjuang melawan penjajahan dan kemiskinan. Apakah kita butuh 2 dekade atau lebih perayaan Reformasi untuk membuat negeri ini benar-benar lepas dari jerat-jerat arogansi dan korupsi penguasa serta kemunafikan pengkhianat-pengkhianat bangsa.

Ataukah kita masih membutuhkan 200 tahun perayaan Kebangkitan Nasional untuk membawa negeri ini benar-benar bangkit, bangkit, dan bangkit dari kemiskinan. wassalam. (roe)

Pojok Opini

12 Mei, 2008

Globalisasi Masuk Desa
oleh : Roe Salampessy


Globalisasi dalam tataran konsep merupakan sebuah sistem baru internasional yang terwujud di era modernisme seiring runtuhnya Komunisme serta berakhirnya perang dingin antara Blog Barat dan Blog Timur. Dalam pemahaman masyarakat modern, Globalisasi adalah wujud eksploirasi zaman yang menembus dinding-dinding peradaban, dia berhembus bak angin topan yang menyapu sekat-sekat penghalang modernisasi dan bermuara pada tingkat kemapanan manusia akan keberlangsungan hidup. Globalisasi ibarat sihir yang mengubah wajah zaman dari keterkungkungan Tirani monarkisme, Fasisme, otoriterisme dan Komunisme. oleh karena itu Globalisasi adalah sistem tunggal dunia baru yang sengaja disetting oleh Negara penyeru Globalisasi pertama yakni Amerika serikat untuk menguasai Dunia. Namun Globalisasi di bawah skenario Amerika ini bukan saja telah merubah wajah zaman, namun lebih dari itu diapun membenahi zaman dengan semangat Liberalnya.

Lebih jauh lagi menurut Thomas Friedmen dalam bukunya “The lexus and the olive tree “ bahwa Globalisasi mengusung 3 Dimensi penting untuk tatanan dunia baru. Dalam tataran idea atau ideologi ada dimensi kapitalisme sebagai unjung tombak pasar bebasnya, sedangkan secara Politik ada dimensi Demokrasinya, sementara di sektor Teknologi ada dimensi internetnya sehingga dunia seakan tanpa batas, baik dari aspek gagasan, idea, maupun fhisik. Kurang lebihnya ulasan Friedmen diatas menggambarkan kepada kita bahwa “Amerikanisasi” telah menembus segenap penjuru belahan dunia dan nilai-nilai baru telah menyebar, bersamaan dengan runtuhnya batas phisikis antara kita. Dunia menjadi lebih menyatu, saling ketergantungan dan terintegrasi.

Globalisasi dalam kenyataannya memang sebuah fenomena yang tak bisa dipungkiri, disatu sisi dia menawarkan kebebasan, kesejahteraan dan kemakmuran namun disisi lain dia menciptakan jurang kemiskinan, ketergantungan dan penjajahan gaya baru (neokolonialisme dan neoimperialisme). Negara-negara yang tak sanggup secara sosial budaya, ekonomi dan politik, terutama Negara-Negara dunia ketiga merasakan dampak luar biasa. Ketidak sanggupan bersaing ditingkat Global menciptakan ketergantungan akan kemapanan negara-negara maju, yang pada akhirnya menciptakan kesenjangan Global disegala lini, Globalisasi dengan demikian menunjukan dua sisi mata uang yang sungguh dilematis.

Indonesia termasuk Negara dunia ketiga (Negara berkembang) yang turut merasakan dampak luar biasa globalisasi. Perlahan-lahan Indonesia terseret skenario global yang kapitalis ini, tingkat kesejahteraan meningkat dikalangan elit atau kaum borjuis akibat kapitalisasi sistem kehidupan bernegara. Namun dilain sisi tingkat pengangguran dan kemiskinan semakin tinggi. Memang sih ketidak siapan bangsa kita ikut menambah kekalahan kita dalam bersaing, yang akhirnya dampak globalisasi bisa kita rasakan dalam rutinitas sehari-hari, Kita adalah “the Losser” di segala bidang.

Dampak Globalisasi di Indonesia ini bukan hanya dirasakan masyarakat perkotaan yang lebih cenderung modernisme dan sekuler. Namun Globalisasi juga telah menembus tembok kokoh pedesaan yang lama tesisihkan oleh perkembangan zaman. Pedesaan, dalam hal ini masyarakat tradisional dan semi tradisional yang cenderung memelihara budaya asli, ikut terseret arus globalisasi. Bagaimana Kapitalis dengan Materialismenya sebagai ujung tombak Globalisasi mengoyak-ngoyak jati diri kaum udik ini, Gotong royong sebagai kultur tradisional terdegradasi oleh nilai-nilai baru globalisasi, sehingga kebersaamaan dan kekeluargaan yang sejatinya sebagai identitas budaya luhur terkubur oleh materialisme. Globalisasi telah mencetak individu-individu desa yang Egoistis dan mematerialisasikan segala asfek kehidupan pedesaan, bukan Cuma itu globalisasi juga mampu merusak norma-norma tradisional pedesaan kearah hedonisme. Coba lihat style atau gaya hidup masyarakat desa yang mulai berani melanggar norma-norma budaya lokalnya.

sementara itu ada fenomena Yang lebih realistis lagi yakni tersingkirnya kaum feodalis pedesaan yang selama ini menjadi orang-orang elit di wilayah itu oleh kekuatan kaum Borjuis (Kaum Kapitalis). Dengan modal yang besar, tanah-tanah pertanian pedesaan di beli dengan harga murah kemudian di manfaatkan sebagai basis industrinya. Pedesaan digiring kearah Industrilisasi dengan mengubur budaya agraris masayrakat lokal. Imbasnya masyarakat pedesaan tak siap karena kurangnya Sumber daya manusia, contoh ini bisa kita temui di beberapa pedesaan di wilayah Jawa.

Memang sich, Globalisasi tak serta merta membawa dampak negative. Ada sisi positif yang bisa kita lihat belakangan ini, kemajuan Teknologi informasi dan komputerisasi bisa dirasakan masyarakat pedesaan. Penggunaan telepon selular (HP) bukan lagi barang mahal di pedesaan, setidaknya HP mampu menjadi sarana komunasi yang ringan tanpa batas untuk menyatukan masyarakat pedesaan yang lama tersekat oleh batas-batas fhisikis. Dengan demikian Globalisasi juga merupakan Anugerah yang mungkin masih semu atau bias bagi masyarakat pedesaan, dengan kata lain Globalisasi menciptakan keterbukaan dan kebebasan bagi masyarakat pedesaan namun dia juga menyimpan bara api yang siap membakar kultur-kultur masyarakat desa yang sangat luhur.

Coba lihat juga pengaruh komputerisasi dengan internetnya terhadap cara pandang masyarakat pedesaan, banyak yang mulai berpikir tentang keunggulan persaingan harus dengan cara menguasai teknologi. Kesadaran masyarakat desa ini tentu bukan karena kebetulan, Globalisasilah yang mengubah paradigma itu.

Apa yang terurai diatas mungkin hanya sedikit dari sekian banyak problematika ataupun kelebihan Globalisasi yang mampu merubah wajah suatu Negara baik di perkotaan ataupun pedesaan. Globalisasi masih sangat muda umurnya, dia masih sangat abstrak untuk diperdebatkan, silang pendapat mengenai konsepnya pun masih menjadi perbincangan hingga detik ini. Namun apapun itu, globalisasi adalah sebuah fenomena baru dunia modern yang harus bisa di hadapi dengan jiwa yang besar.

Nah, Berkaca pada gambaran diatas. Globalisasi bisa jadi merupakan malapetaka atau keuntungan bagi masyarakat desa yang tradisionalistik. Tergantung kesiapan masyarakatnya memahami esensi globalisasi itu sendiri. Apakah masyarakatnya siap menstransformasikan nilai-nilai baru dengan menggantikan budaya-budaya lokal yang telah ada. Karena jangan sampai terjebak oleh skenario global yang memang sengaja melemahkan kekuatan Negara-negara dunia ketiga yang masih dalam tahap perkembangan dan pencarian jati dirinya. Dan memang Globalisasi hanya bisa di hadapi dengan Sumber daya Manusia yang baik serta mempunyai penyaring (filter) bagi nilai-nilai baru yang cenderung Kapitalis, Materialistik, Hedonistik dan Sekular. (ROE)

Pojok Blog

01 Mei, 2008

Dukungan MoraL kepada KPK
oleh : Roe Salampessy

Pembentukan KPK (komisi Pemberantasan Korupsi) pada tahun 2003 lalu oleh Pemerintah telah membuka harapan baru dibidang penegakan hukum, khususnya yang berhubungan dengan penyalahgunaan keuangan negara. Lembaga yang bersifat indefenden ini seolah menjadi setetes asa keadilan di tengah maraknya kasus-kasus Korupsi kelas kakap yang selalu lolos dari jeratan hukum saat itu. Kinerja Kejaksaan Agung dan Kepolisisan yang melempem kala itu dalam penanganan kasus Korupsi menjadi satu dari sekian sebab Pemerintah membentuk Lembaga ini (KPK) yang ketukan palu pengesahannya dilakukan di Senayan oleh para wakil rakyat berdasarkan kepada Undang-undang nomor 30 tahun 2002.

Semenjak dibentuk hingga sekarang, tercatat beberapa kasus korupsi mulai terkuak sedikit demi sedikit, satu demi satu pejabat negara/daerah, Anggota Dewan, dan konglomerat negeri ini merasakan tangan besi KPK, Sudah banyak oknum koruptor yang akhirnya merasakan sengsaranya kamar mini hotel prodeo (baca : penjara), walaupun ada indikasi tebang pilih terhadap tersangka koruptor, namun kinerja mereka patut diberi kredit poin.

Acungan jempol perlu juga kita berikan kepada awak-awak KPK saat ini yang di komandai Antasari Azhar yang mulai berani membongkar kasus-kasus besar (Mega Korupsi) di negeri ini. Taring-taring KPK mulai mengincar sejumlah konglomerat, pejabat Negara/Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terindikasi melakukan penyelewengan keuangan Negara. Yang paling anyar mungkin adalah kasus BLBI dan Alih Fungsi hutan Lindung yang melibatkan seorang Anggota DPR RI.

Gairah penegakan hukum oleh KPK di Negeri ini, ternyata tak serta merta mendapat dukungan dari semua elemen bangsa, ada yang mulai gerah dan merasa terganggu kerja lembaga ini. sebut saja pernyataan beberapa anggota dewan beberapa waktu lalu yang mengusulkan pembubaran KPK karena merasa tersinggung dengan penggeledahan yang akan di lakukan lembaga tersebut di ruang kerja salah satu anggota dewan komisi VI DPR-RI. Anggota dewan (tidak semuanya) mulai ketakutan dengan semakin agresifnya KPK memasuki wilayah-wilayah privasi mereka, mereka takut kebohongan yang ditutup rapat selama ini terkuak oleh penyelidikan KPK dan terbongkar ke ruang publik. Ide pembubaran KPK ini sungguh merupakan penghianatan terhadap amanat Reformasi 98 yang salah satunya adalah pemberantasan korupsi. Seharusnya anggota dewan selaku wakil rakyat di parlemen turut membantu penyelenggaraan Negara yang bersih dari Korupsi, bukannya malah ikut terlibat dalam skandal-skandal korupsi yang merugikan Negara. Ide pembubaran KPK seakan-akan menguak misteri adanya aktor yang bersembunyi dibalik jubah peraturan-peraturan yang di buat DPR, sehingga penggelapan uang Negara tak terlacak oleh para penegak hukum di Republik ini. Inilah Tugas KPK yang sangat berat untuk membongkar semua kejahatan terorganisir dari koruptor-koruptor kelas Kakap yang kerap lolos dari penyelidikan.

Sebagai bagian dari anak bangsa. saya, kamu, anda, kita dan siapa saja sudah sepatutnya mendukung langkah-langkah progresif yang tengah dilakukan oleh KPK, agar pencuri-pencuri uang rakyat (Koruptor) tak mudahnya memanifulasi negeri ini dengan trik liciknya. Dan seandainya KPK kehilangan Rohnya maka Republik ini akan semakin miskin oleh ulah segelintir orang.

Untuk KPK, Kejaksaan Agung atau Negeri, Dan Kepolisian Indonesia. Tangkap, periksa, dan adili siapa saja yang terindikasi melakukan penyelewengan uang Negara. Kami semua (Rakyat) ada di belakangmu. Semoga. (Roe)